Sabtu, 05 November 2011

Realitas Keimanan dalam Kehidupan

Indonesia adalah Negara yang kaya, kaya akan sumber daya alamnya, kekayaan tambang, hutan, pertanian bahkan lautan. Kaya akan resort pariwisatanya, bali, bunaken, pulau komodo, bromo, toba, bromo, Borobudur juga prambanan. Kaya akan jumlah penduduknya, yang menurut sensus 2010 mencapai 240.271.522 jiwa. Indonesia juga kaya akan ummat muslimnya, pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai 85,1% dari jumlah WNI keseluruhan, bahkan merupakan Negara yang memiliki jumlah warga Negara muslim terbanyak di dunia.

Tetapi jika kita perhatika secara mendalam, terdapat kondisi yang terlihat timpang disini, di negeri kita tercinta Indonesia ini. Sebagaimana telah paparkan diatas dalam kehidupan sosial, masyarakat Indonesia beriman. Mereka yakin dengan adanya Tuhan, Allah. Mereka juga melaksanakan tuntunan agamanya sesuai syari’at, sholat, zakat, puasa juga naik haji. Mereka juga yakin terhadap kerisalahan Muhammad, nabi utusan Allah, yang dengannyalah setiap umat muslim harus mengadopsi setiap sikap, tutur kata, perilaku, akhlaq. Masyarakat muslim Indonesia juga yakin terhadap adanya malaikat yang tanpa lengah terus mencatat setiap amal baik maupun buruk yang mereka perbuat. Meraka juga paham dan beriman akan takdir, kepastian akan habisnya jatah kehidupan mereka, juga hari kiamat. Mereka juga tahu selepas mereka di dunia akan dibangkitkan menuju hari perhitungan, dan semua jerih payahnya di dunia akan mendapatkan  upah yang sesuai dengan perasan keringatnya, surga atau neraka.

Namun, pada kenyataan yang ada, iman tersebut belum mampu memberikan warna dalam kehidupan keseharian mereka. Buktinya, bagaimana mungkin bangsa yang sangat banyak melakukan mujahadah, istighatsah, tabligh akbar, doa bersama, serta berbagai ritual keagamaan, tapi di lain sisi juga menjadi bangsa yang paling banyak melakukan korupsi? Bangsa yang rajin melakukan ibadah, namun juga menjadi bangsa yang rajin mengembangkan tindak kemaksiatan.
Ada banyak hal yang telah hilang dari kepribadian bangsa kita. Keimanan seakan telah kehilangan ruh yang menggerakkan. Iman hanya menjadi simbol dan ritual, tanpa esensi, tanpa isi. Padahal jika kita mau menengok keimanan masyarakat di zaman kegemilangan Islam, akan tampaklah sebuah ruh iman yang memberikan warna yang sangat jelas dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam menjalankan kehidupan keseharian, orang-orang beriman terdahulu senantiasa berhati-hati agar tidak  terjatuh dalam penyimpangan dan kesalahan. Lihatlah para Khalifah terdahulu, mereka telah berhasil memberikan contoh bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang beriman. Contoh kecil dari khalifah Umar bin Abdul Aziz berikut menunjukkan bagaimana keimanan telah menjadi warna dalam kehidupan keseharian sang pemimpin.
Pada suatu hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan seorang tamu yang tak lain adalah bibi beliau sendiri. Sang bibi datang untuk meminta tambahan jatah dana dari Baitul Mal. Mungkin ia berpikir, karena yang menjadi penguasa adalah kemenakannya sendiri, maka akan mudah untuk meminta tambahan dana dari Baitul Mal.
Tatkala sang bibi masuk ke rumah Umar, ia melihat Amirul Mukminin ini tengah makan kacang adas dan bawang, yang merupakan makanan rakyat jelata pada masa itu. Melihat kedatangan bibinya, Umar segera menghentikan makannya. Beliau sudah mengetahui maksud kedatangan sang bibi.
“Ya Amirul Mukminin, berikan kepadaku tambahan dana dari Baitul Mal,” pinta sang bibi.
“Tunggulah sebentar,” kata Amirul Mukminin.
Umar bin Abdul Aziz kemudian mengambil satu dirham uang perak dan membakarnya di atas api. Setelah tampak panas, beliau bungkus uang perak panas tersebut dengan kain.
“Inilah uang tambahan yang Bibi minta,” kata Umar sembari menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan sang bibi.
Begitu menggenggam bungkusan tersebut, spontan sang bibi melemparkannya sembari menjerit kesakitan karena panasnya uang perak yang telah terpanggang api.
“Kalau api dunia saja begitu panas,” kata Umar, “bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakar aku dan Bibi karena menyelewengkan harta negara?”
Luar biasa kehati-hatian sang Khalifah dalam menjaga harta negara. Beliau tidak mau mengeluarkan milik negara dengan cara yang tidak benar, walaupun yang datang meminta adalah bibi beliau sendiri. Apakah yang menyebabkan beliau berperilaku seperti itu? Tidak ada jawaban lain, kecuali: iman. Ya, karena iman yang kuat terpatri dalam jiwa Khalifah, beliau menjadi lurus dan bersih dalam kehidupan.
Bagaimana dengan bangsa dan pemimpin kita? Bukankah syarat pemimpin di Indonesia haruslah beriman kepada Tuhan  Yang Maha Esa? Lalu dimanakah iman tersebut tatkala korupsi telah merajalela di negeri ini? Dimanakah letak iman pada saat kebusukan menggerogoti birokrasi, pada saat anggota dewan meminta tambahan gaji, pada saat para pemimpin mementingkan hidupnya sendiri?

Ternyata keimanan kita masih merupakan tanda tanya besar, yang setiap waktu senantiasa diuji. Sebab, iman bukan saja masalah teori, namun lebih penting lagi adalah implementasi.

-------------------------------------------------------------------------
00.01
Markas Dakwah - Masjid Kampus UTM
10 Dzulhijjah 1432
-------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GEMA RAMADHAN (Kajian Bersama Laziz Al-Haromain Bangkalan)

Meningkatkan Iman, Bukan Hanya Resolusi Ramadhan 👳🏻‍♂️ Ust. Moh. Sofa Faudi, S.Psi. • Iman artinya meyakini dalam hati, mengucapkan dengan...