“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?! Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?! Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.” [An-Nur : 11-16]
Salah satu mawqif (sikap) yang harus dimiliki oleh kader di dalam mengemban amanah dakwah dan jihad menegakkan syari’ah ALLAAH SWT di muka bumi ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita sesama mu’min - siapapun dia dan dari kelompok apapun mereka - sepanjang ia atau mereka dikenal keikhlasannya dan perjuangannya untuk Islam dan meninggikan kalimatuLLAAH, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk dan apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu.
Hal yang harus lebih menjadi perhatian adalah juga dalam kehidupan berharakah dan berdakwah di jalan ALLAAH, terhadap sesama ikhwah, terhadap qiyadah, terhadap kebijakan yang merupakan hasil syura dan telah memenuhi adab dan syarat syura’ maka hendaklah para da’i dan aktifis dakwah menahan diri dari mencari-cari sisi buruk (tajassus) dan menyebarkan issu (ghibbah dan namimah).
Sesama ikhwah, harakah dan jama’ah adalah kumpulan manusia, maka setiap ijtihad wajib atasnya ihtimal al-khatha’ (mengandung peluang untuk salah), sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi’i -rahimahuLLAAH-: “Ra’yi shawaab walakin yahtamilul khatha’ wa ra’yu ghairi khatha’ walakin yahtamilush shawaab” (pendapatku benar tapi mungkin saja salah, dan pendapat selainku adalah salah tapi mungkin saja benar). Ikhwah wa akhwat fiLLAAH mencermati banyaknya kader yang saat ini terjatuh ke jurang kehinaan dengan tertimpa penyakit menyebar issu dan fitnah, maka semoga tulisan ini menjadi bermanfaat, nafa’ani waiyyakum…
Pelajaran dari Surah Al-Hujuraat, Jika Menerima Haditsul-’ifk Maka Wajib Tabayyun/Tatsabbut
Dalam ayat ini ALLAAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang benar-benar shadiq kepada ALLAAH dan Rasul-NYA (shaddaqu liLLAAHI wa rasuliHI), jika ada orang fasik[2] membawa berita tentang sebuah kaum agar dilakukan tabayyun (dalam qira’ah Ahul-Madinah dikatakan tatsabbut), yaitu jangan langsung diterima tanpa dilakukan pengecekan kebenarannya[3].
Sehingga Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena kuatir adanya kefasikan dalam dirinya[4]. Sementara Imam Al-Alusi menyatakan bahwa makna fasik ialah orang yang masih suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama[5]. Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (Nabi SAW), atau kepada Kitab wa Sunnah[6].
Pelajaran dari Surah An-Nuur
Ada di Kalangan Ikhwah yang Doyan Menyebar Haditsul-’ifk
Ayat di Al Qur’an surat An-Nur (24 ayat 11) mengindikasikan kepada kita bahwa di antara para penyebar isu itu ada di antaranya di kalangan para ikhwah kita sendiri.
Kata-kata ‘ushbah dalam ayat tersebut dimaknai oleh para mufassir sbb:
1. Jama’ah di antara kalian[7]
2. Mereka bukan hanya 1 atau 2 orang di antara Jama’ah, melainkan banyak orang yang ikut pula terlibat[8]
3. Mereka lalu menjadi suatu firqah yang memiliki satu kesamaan dan saling bekerjasama menyebar isu tersebut[9]
Hal ini memberikan pelajaran yang berharga pada kaum al-muslimin al-mujahidin al-muttaqin bahwa para penyebar isu tanpa didukung fakta itu sudah pernah terjadi di era terbaik, dan oleh karenanya sangat mungkin terjadi di kalangan ikhwah kita saat ini, dan topik isu juga terjadi berkaitan dengan pribadi qiyadah (yaitu Nabi SAW) atau saat ini kepada para qiyadah Jama’ah.
Haditsul-’ifk Itu Ada Hikmahnya Bagi Jama’ah
Jangan mengira dampak isu tersebut buruk bagi yang terkena fitnah tersebut di sisi ALLAAH dan juga di sisi manusia, bahkan ia baik bagi kalian[10]. Berkata Ibnu Katsir: Baik bagi kalian di dunia dan di akhirat yaitu, bukti kebenaran ALLAAH SWT atas perilaku kalian tersebut di dunia dan kedudukan yang tinggi bagi kalian kelak di akhirat[11]; dan itu berlaku bukan hanya bagi Nabi SAW dan keluarganya, melainkan juga bagi ummat yang lainnya, sebagaimana khithab dalam konteks ayat ini yaitu bagi Shafwan RA dan juga bagi keluarga Abubakar RA[12].
Pelaku Haditsul-’ifk Akan Mendapatkan Balasan ALLAAH SWT
Setiap orang yang punya andil dalam menyebarkan issue tersebut dalam jama’ah telah tetap baginya dosanya di sisi ALLAAH SWT[13], dan bagi gembong utama para pelaku penyebar issue tersebut (menurut Ibnu Katsir maknanya adalah para pelaku utamanya, yang paling getol menyebarkannya, menambah-nambahinya[14]) baginya azab yang amat pedih (menurut Imam Al-Baghawi maknanya ialah kepastiannya akan dimasukkan ke neraka kelak[15]).
(Bersambung insya ALLAAH…)
___
Catatan Kaki:
[1] QS An-Nuur, 24/11-16
[2] Para mufassir menyebutkan ini berkenaan dengan Al-Walid bin ‘Uqbah (lih. At-Thabari, XXVI/123; Ibnu Katsir IV/209-210; Ahmad, IV/279; AbduRRAZZAQ, II/231), riwayat yang bersumber dari Musa bin ‘Ubaida$h di-dha’if-kan oleh Imam Al-Haitsami (VII/111), waLLAAHu a’lam.
[3] Tafsir At-Thabari, XX/286
[4] Tafsir Ibnu Katsir, VII/370
[5] Tafsir Al-Alusi, VIII/152
[6] Tafsir Al-Biqa’iy, VIII/152
[7] Tafsir At-Thabari, XIX/115
[8] Tafsir Ibnu Katsir, VI/XIX
[9] Tafsir Al-Alusi, XIII/364
[10] Tafsir At-Thabari, XIX/115
[11] Tafsir Ibnu Katsir, VI/25
[12] Tafsir Al-Baghawi, VI/22
[13] Tafsir At-Thabari, XIX/116
[14] Tafsir Ibnu Katsir, VI/25
[15] Tafsir Al-Baghawi, VI/23