Rabu, 17 November 2010

Haji yang Membebaskan

Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, “Wahai kakek, mau ke manakah Engkau?” Kemudian, Ibrahim menjawab, “Ke Baitullah.”
“Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?” tanya si Badui. “Saya punya banyak kendaraan,” jawab Ibrahim. “Kendaraan apa sajakah itu?” tanya si Badui lagi.
Ibrahim menjawab, “Jika ada kesialan menimpaku, aku mengendarai ’sabar’. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai ’syukur’. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai ‘kerelaan’. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai ‘pengetahuanku’, bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan.”
Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan autentisitas sebagai hamba.
Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi autentisitas cinta ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.
“Dan, hanya karena Allah-lah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS Ali Imran [3]: 97). “Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah… ” (QS Al-Baqarah [2]: 196).
Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi kewajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.
Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya.
Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa. “Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa…” (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.
Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.
Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber: Kolom hikmah Republika, 1 November 2010

Selasa, 16 November 2010

Pahlawan di Sisi Allah SWT


Pada zaman Rasulullah, hiduplah seorang lelaki bernama Amir bin Jamuh. Meskipun kakinya pincang, Amir bertekad untuk ikut bertempur dalam Perang Uhud. Sejumlah sahabat mencegahnya. “Engkau sebaiknya tak ikut berperang karena kakimu pincang.” Namun, Amir yang didukung istrinya tetap bertekad untuk ikut membela agama Allah SWT.
“Aku tidak percaya mereka telah melarangmu untuk ikut dalam pertempuran itu,” tutur sang istri. Mendengar dukungan dari istrinya, Amir segera mengambil senjata, kemudian berdoa, “Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku.”
Amir lalu menemui Rasulullah SAW. Dengan gigih, ia meyakinkan Nabi SAW. Sebenarnya, Nabi Muhammad meminta Amir agar tak ikut berperang. Namun, Amir terus mendesak dan akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.
Di medan pertempuran, Amir berteriak, “Demi Allah, aku ini sangat mencintai surga.” Amir akhirnya gugur syahid di medan pertempuran. Setelah mendengarkabar kematian suaminya, sang istri segera mengendarai seekor unta untuk membawa pulang jenazahnya.
Ketika jenazah Amir diletakkan di atas unta, hewan itu tak mau berdiri. Berbagai upaya dilakukan, unta itu tetap tak mau berjalan, tapi malah asyik memandang Uhud. Ketika Rasulullah mengetahui kabar itu, beliau bersabda, “Sesungguhnya, unta itu telah diperintahkan untuk berlaku demikian. Adakah Amir mengatakan sesuatu ketika ia akan pergi meninggalkan rumahnya?”
Istrinya memberi tahu Rasulullah. Sebelum meninggalkan rumah untuk bertempur di medan perang, Amir menghadap kiblat sambil berdoa, “Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku.” Itulah sebabnya, kata Rasulullah, unta itu tak mau pulang.
Kisah yang tercantum dalam kitab Himpunan Fadilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi itu menggambarkan keberanian dan kepahlawanan orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka hanya berharap menjadi pahlawan yang gugur syahid di sisi-Nya.
Dalam surah Ali Imran [3] ayat 169-170, disebutkan bahwa orang yang gugur di jalan Allah sebenarnya tak mati, tetapi hidup di sisi Sang Khalik. Menurut Quraish Shihab, secara jasmani mereka telah mati, namun, hidup dalam kehidupan yang berbeda dengan dunia.
Mereka yang gugur di jalan Allah SWT benar-benar hidup di alam yang lain, berbeda dengan alam kita. Mereka tetap bergerak, bahkan mereka lebih leluasa dari manusia di bumi ini. Mereka tahu lebih banyak dari apa yang diketahui oleh yang berdenyut jantungnya.
Di alam sana, orang-orang yang gugur di jalan Allah telah melihat dan mengetahui nomena, bukan fenomena. Mereka juga mendapat rezeki dari Allah yang sesuai dengan kehidupan alam barzah. Maka itu, mereka bergembira karena berada dalam kehidupan yang sebenarnya di sisi Allah.
Mudah-mudahan, para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankankemerdekaan Indonesia menjadi pahlawan yang mendapat gelar yang paling tinggi, yaitu sebagai syuhada di sisi Allah SWT.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 10 November 2010

Sabtu, 13 November 2010

Amalan Utama Dzulhijah

“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini, (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijah),” sabda Nabi SAW.
Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Rasulullah menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, tetapi tak ada yang kembali satu pun.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
“Ketahuilah, amalan di sepuluh hari awal Dzulhijah akan dilipat-gandakan,” sabda Nabi SAW dalam hadis lainnya. Terlepas perbedaaan pelaksanaaan Idul Adha 1431 H, ada baiknya kita alihkan perhatian pada sesuatu yang lebih utama, yaitu merebut perhatian Allah SWT dengan menghadirkan amalan-amalan yang disukai-Nya.
Pertama, puasa. Dari istri Hunaidah bin Kholid, beberapa istri Nabi SAW mengatakan, “Rasulullah biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari Asyura (10 Muharram), dan berpuasa tiga hari setiap bulannya.” Di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu Umar.
Kedua, memperbanyak takbir dan zikir. Termasuk di dalamnya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, dan doa. Disunahkan untuk mengeraskan suara ketika melewati pasar, jalan-jalan, masjid, dan tempat-tempat lainnya.
Ibnu Abbas berkata, “Berzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang ditentukan, yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyrik.” Ibnu Umar dan Abu Hurairah pernah ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir.
Ketiga, menunaikan ibadah haji dan umrah. Nabi SAW ditanya, “Amalan apa yang paling afdal?” Beliau menjawab, “Berman kepada Allah dan RasulNya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” Nabi SAW menjawab, “Haji mabrur!” (HR Bukhari).
Keempat, memperbanyak amalan saleh, seperti shalat sunah, sedekah, membaca Al-Quran, dan beramar makruf nahi munkar.
Kelima, berkurban. Pada hari nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyrik disunahkan untuk berkurban. “Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS al-Kautsar [108]: 2).
Keenam, bertobat. Jika kita pernah berzina, membunuh tanpa hak, mencandu minuman (khamr), atau sering meninggalkan shalat lima waktu, segeralah bertobat.
“Katakanlah, Hai, hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…” (QS. az-Zumar [39]: 53).
Menurut Ibnu Katsir, ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat, baik kekafiran maupun lainnya, untuk segera bertobat kepada Allah. Sang Khalik pun akan mengampuni seluruh dosa setiap hamba yang bertobat walaupun dosanya sangat banyak.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 12 November 2010

Rabu, 03 November 2010

HIKMAH DI BALIK AIR MATA

Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata. Kedua peneliti tersebut berasal dari Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa air mata yang keluar karena tepercik bawang atau cabe berbeda dengan air mata yang mengalir karena kecewa dan sedih.
Air mata yang keluar karena terpercik bawang atau cabe ternyata tidak mengandung zat yang berbahaya. Sedangkan, air mata yang mengalir karena rasa kecewa atau sedih disimpulkan mengandung toksin atau racun.
Kedua peneliti itu pun merekomendasikan agar orang-orang yang mengalami rasa kecewa dan sedih lebih baik menumpahkan air matanya. Sebab, jika air mata kesedihan atau kekecewaan itu tidak dikeluarkan, akan berdampak buruk bagi kesehatan lambung.
Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali dilabeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.
Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa lalu akan memadamkan api neraka.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, “Ada mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fisabilillah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah.”
Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi, mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.
Tuhan memuji orang menangis. “Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al-Isra’ [17]: 109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, “Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu.”
Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.
Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.
Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 27 Oktober 2010

GEMA RAMADHAN (Kajian Bersama Laziz Al-Haromain Bangkalan)

Meningkatkan Iman, Bukan Hanya Resolusi Ramadhan 👳🏻‍♂️ Ust. Moh. Sofa Faudi, S.Psi. • Iman artinya meyakini dalam hati, mengucapkan dengan...