Kamis, 23 Desember 2010

Esensi Hijriyah

Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.

Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.

Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.

Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami,  seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.

Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.

Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).

Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1433 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?

Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.

Sumber :
Ismail, A. Satori, 2010, Esensi Hijriyah, [online], (http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/12/07/150955-esensi-hijrah, diakses tanggal 23 Desember 2010 )

Minggu, 19 Desember 2010

LAKUKAN DENGAN BAIK

Tahun hijrah 1432 talah kita masuki bersamaan dengan beradanya kita di tahun 2011 miladiyah. Dua bilangan tahun saling berdekatan, tentu secara sunatullah tidak ada yang terlalu istimewa untuk kita kaum yang beriman pikirkan.
Toh, itu semua hanyalah perhitungan waktu sesuai dengan cara penghitungannya masing-masing. Masehi menurut pergerakan matahari (syamsiah), sedangkan hijriyah berdasarkan pergerakan bulan (ijamariah). Artinya, bunii yang kita pijak tetaplah satu, langit yang menyelimuti semesta raya ini pun langit yang sama pula.
Perbedaan model perhitungan waktu dalam bilangan tahun karena memang melihat konteks kejadian peristiwa yang berbeda. Dalam konteks Islam, misalnya, Khalifah Ummar bin Khattab menjadikan momentum hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah sebagai pangka! dimulainya perhitungan almanak Islam itu.


Ambil, Menjadi Peringatan

Sekadar mengambil contoh bilangan, cobalah perhatikan Al-Qur’an surah 14 (Ibrahim) ayat 32, menukilkan: “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”
Mengingat akan rentang pergantian waktu adalah ikhtiar untuk memahami keberadaan ataupun posisi diri, berhubung kita yang manusia ini adalah juga menjadi bagian alam semesta yang tiada terlepas dari konteks ruang dan waktu itu sendiri.
Ada sebutan khusus kata ‘hujan’ dalam ayat tersebut, yang sesungguhnya menjadi keberkahan dan rahmat bagi penduduk di permukaan bumi. Penduduk tentu saja bukan hanya manusia belaka, akan tetapi ada hewan-hewan, pepohonan, dan gunung-gunung yang tentu saja membutuhkan air untuk sebuah proses berlangsungnya penghidupan.
Kita yang kemudian sering kurang faham tatkala fenomena berubah menjadi bencana, serta-merta tema keberkahan dan rizki yang semestinya didapat yang bersumber dari air yang turun dari langit itu lalu dilupakan.
Padahal jika dalam kurun waktu tertentu tak jua turun-turun hujan, betapa repot dan tersiksanya manusia di bumi ini. Bukankah ketika hujan menjadi ‘bencana’ itu disebabkan oleh ulah tangan-tangan dan pikiran manusia juga? Yaitu tatkala kita tak pandai mengelola lingkungan sehingga terjadi tema-tema ketidak-seimbangan atau ketimpangan alam.
Dari ayat itu, kita diperingatkan untuk senantiasa mengingat keberadaan diri dan berkesadaran terhadap fenomena alam semesta yang menjadi tempat kita hidup dan berkehidupan. Maka untuk bisa memahami konteks ayat 14:32 di atas, sebelumnya Allah telah mendahuluinya dengan sapaan kepada para hamba:
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan“. (QS Ibrahim: 31)
Apa yang menjadi perintah atau suruhan di ayat 31, pada gilirannya tentulah Allah SWT memberikan reward (penghargaan) sebagaimana dinukilkan dalam ayat ke-32-nya. Inilah pula yang dinamakan hukum sebab-akibat atau kausalitas itu. Sebagai pembanding untuk konteks hubungan sebab-akibat ini, kita dapat membaca pada rangkaian empat ayat sebelumnya, QS Ibrahim ayat 27-30.

Hindari Tipuan Dunia

Seperti halnya ada warning bagi masyarakat ketika akan terjadi bencana — entah tsunami, banjir bandang, atau erupsi gunung api — bahwa manusia diberi peringatan untuk berwaspada agar tidak tergiur atau terbawa arus kesesatan dari jalan Allah.
Bahwa yang tergiur dalam wilayah permainan “orang-orang yang ingkar” dan amat cenderung pada soal-soal duniawiyah tentulah akan mendapatkan “kesenangan duniawi”, meski pada gilirannya berisiko untuk kelak mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.
Betapa banyak di antara kita yang terjebak dalam tawaran yang penuh tipu daya itu yang menggiurkan: nafsu dunia. Dan, Al-Qur’an acapkali memberi peringatan tentang dunia yang merupakan panggung sandiwara itu.
Kita diingatkan memperhatikan waktu (QS Al-Ashr), di mana manusia akan senantiasa merugi manakala ia tiada membentengi dirinya dengan keimanan, amal salih, berada dalam kebenaran, dan bersabar dalam menghadapi pertarungan hidup. Keempatnya saling berkaitan yang tiada berputus satu sama lain.

Mengubah Sikap Diri

Lalu, apa kaitannya dengan rentang perjalanan waktu yang bakal kita hadapi di tahun 1432 hijriyah ini? Tak banyak yang berubah dan kita masih berada dalam situasi krisis yang beragam. Sehingga dibutuhkan kepiawaian diri agar tidak menjadi orang yang putus asa lantaran menghadapi kesulitan hidup.
Perbanyak amal-amal ibadah, bersabar menghadapi realita hidup, dan terus letakkan nilai-nilai optimisme di dalam diri. Hidup akan terasa berat, jika memang menyandarkan segala sesuatu dalam sudut pandang materi atau kebendaan. Untuk itu, cobalah mulai dari kita masing-masing untuk menawarkan segala sesuatu yang bernada keihsanan dan bernuansa nllai kebajikan.
Kita harus mengubah perangai anak bangsa ini, dengan bersegera hijrah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat keburukan. Hijrah dalam konteks kita kekinian adalah merupakan momentum untuk mengubah tingkah laku dan cara pandang dalam hidup: change of behavior and change of paradigm. Itu yang harus kita camkan baik-baik. Maka lakukanlah hal-ihwal yang baik-baik saja.
Sumber: Lembar Risalah An-Natijah No. 49/Thn XV - 3 Desember 2010

Rabu, 17 November 2010

Haji yang Membebaskan

Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, “Wahai kakek, mau ke manakah Engkau?” Kemudian, Ibrahim menjawab, “Ke Baitullah.”
“Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?” tanya si Badui. “Saya punya banyak kendaraan,” jawab Ibrahim. “Kendaraan apa sajakah itu?” tanya si Badui lagi.
Ibrahim menjawab, “Jika ada kesialan menimpaku, aku mengendarai ’sabar’. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai ’syukur’. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai ‘kerelaan’. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai ‘pengetahuanku’, bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan.”
Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan autentisitas sebagai hamba.
Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi autentisitas cinta ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.
“Dan, hanya karena Allah-lah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS Ali Imran [3]: 97). “Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah… ” (QS Al-Baqarah [2]: 196).
Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi kewajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.
Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya.
Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa. “Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa…” (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.
Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.
Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber: Kolom hikmah Republika, 1 November 2010

Selasa, 16 November 2010

Pahlawan di Sisi Allah SWT


Pada zaman Rasulullah, hiduplah seorang lelaki bernama Amir bin Jamuh. Meskipun kakinya pincang, Amir bertekad untuk ikut bertempur dalam Perang Uhud. Sejumlah sahabat mencegahnya. “Engkau sebaiknya tak ikut berperang karena kakimu pincang.” Namun, Amir yang didukung istrinya tetap bertekad untuk ikut membela agama Allah SWT.
“Aku tidak percaya mereka telah melarangmu untuk ikut dalam pertempuran itu,” tutur sang istri. Mendengar dukungan dari istrinya, Amir segera mengambil senjata, kemudian berdoa, “Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku.”
Amir lalu menemui Rasulullah SAW. Dengan gigih, ia meyakinkan Nabi SAW. Sebenarnya, Nabi Muhammad meminta Amir agar tak ikut berperang. Namun, Amir terus mendesak dan akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.
Di medan pertempuran, Amir berteriak, “Demi Allah, aku ini sangat mencintai surga.” Amir akhirnya gugur syahid di medan pertempuran. Setelah mendengarkabar kematian suaminya, sang istri segera mengendarai seekor unta untuk membawa pulang jenazahnya.
Ketika jenazah Amir diletakkan di atas unta, hewan itu tak mau berdiri. Berbagai upaya dilakukan, unta itu tetap tak mau berjalan, tapi malah asyik memandang Uhud. Ketika Rasulullah mengetahui kabar itu, beliau bersabda, “Sesungguhnya, unta itu telah diperintahkan untuk berlaku demikian. Adakah Amir mengatakan sesuatu ketika ia akan pergi meninggalkan rumahnya?”
Istrinya memberi tahu Rasulullah. Sebelum meninggalkan rumah untuk bertempur di medan perang, Amir menghadap kiblat sambil berdoa, “Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku.” Itulah sebabnya, kata Rasulullah, unta itu tak mau pulang.
Kisah yang tercantum dalam kitab Himpunan Fadilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi itu menggambarkan keberanian dan kepahlawanan orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka hanya berharap menjadi pahlawan yang gugur syahid di sisi-Nya.
Dalam surah Ali Imran [3] ayat 169-170, disebutkan bahwa orang yang gugur di jalan Allah sebenarnya tak mati, tetapi hidup di sisi Sang Khalik. Menurut Quraish Shihab, secara jasmani mereka telah mati, namun, hidup dalam kehidupan yang berbeda dengan dunia.
Mereka yang gugur di jalan Allah SWT benar-benar hidup di alam yang lain, berbeda dengan alam kita. Mereka tetap bergerak, bahkan mereka lebih leluasa dari manusia di bumi ini. Mereka tahu lebih banyak dari apa yang diketahui oleh yang berdenyut jantungnya.
Di alam sana, orang-orang yang gugur di jalan Allah telah melihat dan mengetahui nomena, bukan fenomena. Mereka juga mendapat rezeki dari Allah yang sesuai dengan kehidupan alam barzah. Maka itu, mereka bergembira karena berada dalam kehidupan yang sebenarnya di sisi Allah.
Mudah-mudahan, para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankankemerdekaan Indonesia menjadi pahlawan yang mendapat gelar yang paling tinggi, yaitu sebagai syuhada di sisi Allah SWT.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 10 November 2010

Sabtu, 13 November 2010

Amalan Utama Dzulhijah

“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini, (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijah),” sabda Nabi SAW.
Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Rasulullah menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, tetapi tak ada yang kembali satu pun.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
“Ketahuilah, amalan di sepuluh hari awal Dzulhijah akan dilipat-gandakan,” sabda Nabi SAW dalam hadis lainnya. Terlepas perbedaaan pelaksanaaan Idul Adha 1431 H, ada baiknya kita alihkan perhatian pada sesuatu yang lebih utama, yaitu merebut perhatian Allah SWT dengan menghadirkan amalan-amalan yang disukai-Nya.
Pertama, puasa. Dari istri Hunaidah bin Kholid, beberapa istri Nabi SAW mengatakan, “Rasulullah biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari Asyura (10 Muharram), dan berpuasa tiga hari setiap bulannya.” Di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu Umar.
Kedua, memperbanyak takbir dan zikir. Termasuk di dalamnya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, dan doa. Disunahkan untuk mengeraskan suara ketika melewati pasar, jalan-jalan, masjid, dan tempat-tempat lainnya.
Ibnu Abbas berkata, “Berzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang ditentukan, yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyrik.” Ibnu Umar dan Abu Hurairah pernah ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir.
Ketiga, menunaikan ibadah haji dan umrah. Nabi SAW ditanya, “Amalan apa yang paling afdal?” Beliau menjawab, “Berman kepada Allah dan RasulNya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” Nabi SAW menjawab, “Haji mabrur!” (HR Bukhari).
Keempat, memperbanyak amalan saleh, seperti shalat sunah, sedekah, membaca Al-Quran, dan beramar makruf nahi munkar.
Kelima, berkurban. Pada hari nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyrik disunahkan untuk berkurban. “Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS al-Kautsar [108]: 2).
Keenam, bertobat. Jika kita pernah berzina, membunuh tanpa hak, mencandu minuman (khamr), atau sering meninggalkan shalat lima waktu, segeralah bertobat.
“Katakanlah, Hai, hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…” (QS. az-Zumar [39]: 53).
Menurut Ibnu Katsir, ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat, baik kekafiran maupun lainnya, untuk segera bertobat kepada Allah. Sang Khalik pun akan mengampuni seluruh dosa setiap hamba yang bertobat walaupun dosanya sangat banyak.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 12 November 2010

Rabu, 03 November 2010

HIKMAH DI BALIK AIR MATA

Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata. Kedua peneliti tersebut berasal dari Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa air mata yang keluar karena tepercik bawang atau cabe berbeda dengan air mata yang mengalir karena kecewa dan sedih.
Air mata yang keluar karena terpercik bawang atau cabe ternyata tidak mengandung zat yang berbahaya. Sedangkan, air mata yang mengalir karena rasa kecewa atau sedih disimpulkan mengandung toksin atau racun.
Kedua peneliti itu pun merekomendasikan agar orang-orang yang mengalami rasa kecewa dan sedih lebih baik menumpahkan air matanya. Sebab, jika air mata kesedihan atau kekecewaan itu tidak dikeluarkan, akan berdampak buruk bagi kesehatan lambung.
Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali dilabeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.
Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa lalu akan memadamkan api neraka.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, “Ada mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fisabilillah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah.”
Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi, mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.
Tuhan memuji orang menangis. “Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al-Isra’ [17]: 109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, “Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu.”
Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.
Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.
Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 27 Oktober 2010

Rabu, 27 Oktober 2010

MENJAGA PANDANGAN

“Allahumma inni audzubika min fitnatin nisaa, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah wanita”. Seorang teman mengajarkan doa tersebut kepada saya.
Ia memaparkan bahwa doa tersebut merupakan perisai yang ampuh bagi para pria saat melihat wanita yang membuatnya tergoda.
Nafsu senantiasa bergejolak apalagi saat stimulan bermunculan. Perkara menundukkan nafsu itu yang menjadi sebuah kreativitas.
Saat manusia melihat apa yang diharamkan Allah SWT, maka boleh jadi ia tergoda oleh bisik rayu setan dan pandangan liar yang haram menjadi pintu masuk maksiat yang lebih besar.
Meski hanya sekilas pandang, namun bila tidak segera ditundukkan maka pandangan akan menyerang pikiran dan membuat jiwa gelisah. Bila tak mampu ditundukkan, maka nafsu akan mendorong diri untuk berlaku maksiat.
Allah SWT mencegah pandangan liar di kalangan Mukminin, baik pria maupun wanita. Dalam surah An-Nuur ayat 30, Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’ “.
Pada ayat 31 surah yang sama, Allah SWT pun memerintahkan hal yang sama kepada kaum wanita, yakni menahan pandangan dan menjaga kemaluannya.
Bahkan, Rasulullah SAW pun mencegah sahabat secara langsung begitu tak mampu menundukkan pandangan. Alkisah, salah seorang sahabat bernama Al Fadhl bin Abbas sedang berdiri di samping Rasulullah SAW saat berhaji. Lalu datanglah seorang wanita ke arah Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang suatu hal.
Al Fadhl melempar pandang kepada wanita tersebut, dan wanita itu pun melihat kepadanya. Saat Rasulullah SAW mengetahuinya, maka beliau memalingkan wajah Al Fadhl ke arah lain agar terhindar dari dosa. (Hadis Muttafaq Alaihi, Bulughul Maram hadis 732).
Rupanya kemunculan maksiat tak melihat tempat dan suasana. Dalam kondisi haji dan berdiri di samping Rasulullah SAW sekalipun, pandangan liar berpotensi dosa dapat bermunculan.
Marilah saudaraku seiman kita mencoba ikut ambil bagian dalam perintah Allah SWT dan Rasul-Nya ini. Menundukkan pandangan, itulah latihan yang perlu kita lakukan.
Meski Anda belum mengetahui maksud dan manfaat menundukkan pandangan seperti yang diperintahkan, namun yakinlah bahwa kebaikan itu akan berpulang pada dirimu. Paling tidak doa kita mendapat ijabah, shalat kita khusyuk, sujud dan tadharru kita akan bermakna.
Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Setiap Muslim yang melihat kecantikan seorang wanita pada kali pertama kemudian ia berusaha untuk menundukkan pandangannya, maka pasti Allah akan menggantikan untuknya sebuah ibadah yang dapat ia rasakan kenikmatannya.” (HR Ahmad).
Bila Anda ingin mendapati kekhusyukan serta kenikmatan beribadah kepada Sang Khalik, maka mulailah melakukannya dari sesuatu yang kecil, yakni menundukkan pandangan.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 22 Oktober 2010
Related Posts with Thumbnails

Senin, 25 Oktober 2010

PEMBAGIAN KELOMPOK (RTL PDKI 2010)

Pembagian Kelompok dan Muro'iyah(Pembimbing) : AKHWAT

  1. Kelompok 1 (Ummu Sulaim) : Rohmi Nur Hidayah (081216462646)
  2. Kelompok 2 (Ummu Kultsum) : Firda Kamalia (085655569912)
  3. Kelompok 3 (Siti Aisyah) : Pujianik Mulyani (08563458826)
Pembagian Kelompok dan Muro'i(Pembimbing) : IKHWAN
  1. Kelompok 1 (Muhammad Al Fatih) : Bahrul Ulum (085854398338)
  2. Kelompok 2 (Bilal Bin Robbah) : Yanuari Dwi Prianto (085731036616)
  3. Kelompok 3 (Sholahuddin Al Ayyubi) : Agil Asyrofi (085736847210)

Rabu, 20 Oktober 2010

Menjernihkan Hati

Hati dan pikiran yang jernih akan melahirkan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Sebab, kejernihan hati dan pikiran, selalu dilandasi dengan semangat keikhlasan untuk mengabdikan dirinya semata-mata karena Allah.
Itulah salah satu ciri orang yang beriman. Perbuatan yang demikian itu akan mampu menjadikan dirinya sebagai pembersih jiwa untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams [91]: 9-10).
Banyak cara dan langkah yang diajarkan Islam untuk menjernihkan hati dan pikiran tersebut. Pertama, memperbanyak istighfar (memohon ampun) kepada Allah SWT disertai keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang salah.
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3]: 135).
Kedua, membiasakan zikir dengan lisan, hati, dan amal perbuatan. Dirinya meyakini bahwa segala sesuatunya telah ditentukan oleh Allah. “(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS Ar-Ra’du [13]: 28-29).
Ketiga, memperbanyak zakat, infak, dan sedekah. Kesadaran untuk berzakat akan mampu mengembangkan dan memberikan keberkahan pada harta yang dimiliki (QS Ar-Ruum [30]: 39), serta mampu menjernihkan hati dan pikiran.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At-Taubah [9]: 103).
Dalam kaitan dengan kesediaan berzakat, berinfak, dan bersedekah ini juga akan meneguhkan etos dan etika kerja. Artinya, orang yang bekerja dengan hati dan pikiran yang jernih, niscaya mereka akan senantiasa senang bekerja dan tidak malas. Mereka akan menjadi manusia produktif, serta tidak melakukan perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. (QS Al-Mu’minun [23]: 1-4). Selain itu, mereka akan senantiasa menjaga perbuatannya dari hal-hal yang negatif dan tercela. Sebab, hal itu dapat merupakan amal perbuatannya.
Karena itu, marilah kita tunaikan zakat, agar harta, jiwa, hati, dan pikiran kita semakin jernih dan bersih, sehingga akan mampu meraih kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 30 September 2010

Senin, 18 Oktober 2010

Kelompok PDKI (new)

PEMBAGIAN KELOMPOK PESERTA PDKI 2010

IKHWAN

 

Kelompok : Muhammad Al-Fatih

No

Nama

Jurusan

No. HP

01

Mohammad Nasib (Ketua)

Sosiologi

087850597711

02

Afzal Farid

T. Informatika

085745918333

03

Hasan Al-Banna

T. Informatika

 

04

Moh. Zamroni Hamzah

T. Informatika

085736409403

05

Farid Ardiansyah

Manajemen Ekonomi

085731809390

06

Hidayatur Rohman

T. Informatika

081913701493

07

Veki Nur Kholis

T. Informatika

03160770482

08

Sugeng Bagus

T. Informatika

085733164757

09

Misnari

Sosiologi

087750821887

10

Sugianto

T. Informatika

087850398696

11

Asep

Akuntansi

081913590017

 

 

Kelompok : Solahuddin Al-Ayyubi

No

Nama

Jurusan

No. HP

01

Ja’par (Ketua)

T. Informatika

081939040952

02

Ja’far Shodiq

T. Informatika

085755001010

03

Ahdawi

Sosiologi

087850951392

04

Imam Bukhori

Sosiologi

085730572232

05

Syamsul Arifin

T. Industri

087750915885

06

Muhammad Hafidz

T. Industri

081939310823

07

Miftahul Arifin

T. Industri

085648814536

08

Abdul Aziz

Psikologi

085719576707

09

M. Hasan Mauludi

Psikologi

03191930663

10

Suyitno

Ekonomi Pembangunan

085648702245

11

Ach. Rizal

T. Informatika

 

 

 

Kelompok : Bilal Bin Robah

No

Nama

Jurusan

No. HP

01

Fendi (Ketua)

Sosiologi

085733508505

02

Rusydi Nuruddin

Psikologi

085746401231

03

Nanang Wildan

Manajemen Informatika

08563649348

04

Kharis Zona Amrullah

Ilmu Kelautan

085755936078

05

Adam

Ilmu Komunikasi

085645675585

06

Iwan Ragasiwi

Agroekoteknologi

087850113322

07

Salam

TIP

 

08

Luthfi Muzakki

T. Industri

081558418855

09

Nashihuddin

T. Informatika

085735150113

10

Akhmad Sabela

T. Industri

087850013929

11

Adi Waluyo

Ilmu Kelautan

081913590017

 

GEMA RAMADHAN (Kajian Bersama Laziz Al-Haromain Bangkalan)

Meningkatkan Iman, Bukan Hanya Resolusi Ramadhan 👳🏻‍♂️ Ust. Moh. Sofa Faudi, S.Psi. • Iman artinya meyakini dalam hati, mengucapkan dengan...