Jenis-jenis Air Untuk Bersuci
Assalamu'alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Hallo sobat hijrah, bagaimana kabar kalian semua? semoga baik-baik saja yah.
Okay, kali ini admin akan membawakan sebuah artikel Fiqih tentang jenis-jenis air untuk bersuci yang perlu diketahui oleh umat Muslim, apakah selama ini air yang digunakan untuk bersuci telah memenuhi kriteria air yang suci atau belum. Yuk, simak penjelasan admin kali ini.
Dalam buku Fiqih Wanita yang ditulis oleh Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, menjelaskan bahwa air untuk bersuci dibagi menjadi beberapa macam, yakni:
1. Air Mutlak
Air mutlak ialah air suci dan mensucikan yang mana air ini tidak tercampuri oleh najis dan masih bersifat murni. Air mutlak ini dibagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Air Laut
Air laut itu bersifat suci mutlak, termasuk suci pada dzatnya dan dapat digunakan dalam mensucikan benda lain. Dengan demikian apabila menggunakan air laut untuk bersuci atau menghilangkan najis, berwudhu, dan mandi janabah maka hukumnya sah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa Sallam:
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (( هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ))
"Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam: Wahai Rasulullah, kami berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan air tersebut untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Untuk itu, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?, Rasulullah Sholallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: Air laut itu suci dan mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal." (HR. Al-Khamsah).
b. Air hujan, salju, dan embun
Dalam Al-Qur'an Allah menjelaskan sifat-sifat air yakni pada QS. Al-Anfal/8: 11, yang berbunyi:
"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteduh dengannya telapak kaki(mu)."
Dalam ayat ini Allah menjelaskan air hujan yang berasal dari langit yang dapat digunakan untuk bersuci. Dalam riwayat lain, kebersihan air hujan dari langit diperkuat dalam QS. Al-Furqan: 48 yang berbunyi:
"Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih."
Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam juga memperjelas kesucian dari air hujan dimana didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu yakni:
"Apabila Rasulullah telah bertakbir di dalam shalatnya, beluai berdiam sejenak. Lalu aku bertanya: Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah apa yang engkau baca tatkala berdiam diantara takbir dan bacaan Al-Fatihah di dalam shalatmu?. Beliau menjawab: Aku mengucapkan do'a: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan es, air, dan embun. " (HR. Jama'ah, kecuali Imam At-Tirmidzhi).
Air-air tersebut juga termasuk dengan air laut, sumber-sumber air, telaga, dan sungai.
c. Air yang Berubah karena Lama Tidak Mengalir
Air yang berubah karena lama tidak mengalir disebabkan oleh tempatnya atau dapat juga tercampur dengan sesuatu yang memang tidak bisa dipisahkan dari air itu, dimana air tersebut telah ditumbuhi lumut atau organisme air yang berada dipermukaan air, yang mana para ulama telah bersepakat bahwa hal tersebut masih bersifat sebagai air mutlak.
2. Air yang Tercampur oleh Suatu yang Suci
Air untuk bersuci tidak menutup kemungkinan untuk tercemar atau terkontaminasi oleh sabun, minyak za'faran, tepung, dan lain-lainnya. Air tersebut apabila digunakan untuk bersuci hukumnya adalah suci jika terjamin kemutlakannya. Apabila air tidak dikategorikan sebagai air mutlak lagi karena tidak sudah jauh dari kata mutlak, maka air tersebut tetap dikatakan suci namun tidak mensucikan. Dimana hal tersebut didasarkan pada hadits dari Ummu 'Athiyyah yang menceritakan bahwa:
"Rasulullah masuk ke rumah kami ketika puterinya, Zainab, wafat. Lalu Beliau berkata: Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih, jika menurutmu lebih dari itu adalah lebih baik, dengan air, serta daun bidara. Pada basuhan yang terakhir campurkan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Jika selesai, maka beritahukan kepadaku. Setelah selesai memandikan jenazah Zainab, kami memberithukan kepada Rasulullah, kemudian beliau memberikan kain kepada kami seraya berkata: Pakaikanlah kain ini pada tubuhnya." (HR. Jama'ah).
Dari sabda Rasulullah kita pastinya telah memaknai bahwa air yang terkena beberapa campuran yang masih dapat digunakan untuk bersuci bagi mayit, yakni air yang dapat mensucikan orang yang masih hidup. Beberapa cerita yang juga menjelaskan bahwa air untuk bersuci telah tercampur oleh tepung karena bejana sebagai wadah air tersebut merupakan bekas tepung, dimana air yang secara tidak sengaja mengandung campuran dapat digunakan untuk bersuci, asalkan tidak menghilangkan sebagai air mutlak.
3. Air Dalam Jumlah yang Banyak Apabila Berubah Warnanya Karena Tidak Mengalir
Ulama bersepakat bahwa apabila air berubah karena tersimpan di suatu tempat, maka hukumnya tetap suci. Seperti halnya air sungai yang mengalir, apabila diketahui bahwa telah tercemar oleh kotoran yang termasuk najis, maka air itu najis. Namun, apabila air tersebut tercampur oleh sesuatu yang suci dan najis, sehingga mengalami perubahan tetapi masih diragukan, maka air tersebut tidak najis karena berdasar pada keraguan saja.
Air-air sungai dalam kategori sungai besar, aliran-alirannya yang deras pada seketika terkontaminasi oleh najis yang mengalir yang mengakibatkan berubahnya air tersebut dari warna, bau, dan lain-lain maka air tersebut bersifat najis. Apabila air tersebut mengalami perubahan bukan karena najis, maka mengenai kesuciannya ada dua pendapat yang mashur dan memiliki dasar-dasar yang dapat dibenarkan.
4. Air Musta'mal
Air musta'mal ialah air yang telah terjatuhi air yang telah digunakan untuk berwudhu. Air tersebut masih dikategorikan suci sebagaimana air mutlak dan tidak ada dalil yang menyatakan ketidak suciannya. Hal tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Rubai' bin Mu'awwidz yang berbunyi:
"Rasulullah pernah membasuh kepala dengan air sisa air wudhu yang masih berada di tangannya." (HR. Ahmad).
Menurut beberapa Madzhab, air musta'mal memiliki beberapa pengertian, antara lain:
a. Madzhab Al-Hanafiyah
Air musta'mal ialah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa dalam wadah. Air tersebut disebut musta'mal karena saat menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu atau mandi. Air tersebut juga termasuk air yang sudah digunakan untuk mengangkat hadats, sedangkan air yang berada didalam wadah tidak dapat disebut air musta'mal yang dikatakan suci tapi tidak mensucikan.
b. Madzhab Al-Malikiyyah
Air musta'mal ialah air yang digunakan untuk mengangkat hadats seperti wudhu atau mandi. Air musta'mal yang berada didalam wadah masih dapat digunakan untuk bersuci dan termasuk air suci mensucikan, meskipun dengan karahah (kurang disukai).
c. Madzhab Asy-Syafi'iah
Air musta'mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Disebut air musta'mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk untuk niat berwudhu atau mandi meskipun untuk mencuci tangan yang menjadi sunnah wudhu.
Air musta'mal dalam madzhab Syafi'i tidak dapat digunakan untuk bersuci, seperti wudhu, mandi, atau mencuci najis, dimana status air musta'mal ialah suci tapi tidak mensucikan.
d. Madzhab Al-Hanabilah
Air musta'mal ialah air yang telah digunakan untuk bersuci atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian, dimana air itu tidak mengalami perubahan rasa maupun aroma. Dalam madzhab ini air musta'mal dapat digunakan kembali apabila menetes pada air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah.
Sumber : Rumah Fiqih Indonesia (Air Musta'mal)
5. Air yang Jumlahnya Mencapai Dua Qullah
Air musta'mal membedakan antara air musta'mal dan ghairu musta'mal berdasarkan volume air. Apabila volume air itu melebihi volume minimal, maka air tersebut kemungkinan jauh dari kata musta'mal. Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ-
وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
"Abdullah bin Umar Ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika air itu telah mencapai dua qullah, maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis)." (HR. Khamsah).
Istilah dua qullah pada zaman Rasulullah SAW semasa hidup. Di kitab fiqih kebanyakan disebutkan bahwa ukuran dua qullah yakni setara dengan 500 rithl Baghdad. Sedangkan para ulama kontemporer mencoba mengukur volume air yang berlaku di zaman sekarang, yakni setara kurang lebih 270 liter.
Imam Syafi'i menyatakan bahwa dua qullah berarti lima geribah, sedangkan penganut madhzab Hanafi, menetapkan dua qullah yakni sama dengan tempat air yang besar dimana satu sisinya tidak goyang jika sisi lain digerakkan. Jika ada yang tidak menggunakan dua qullah, maka menggunakan ukuran semisal dalam menentukan jumlah air yang banyak, misalnya penganut madzhab Maliki, atau diberikan keringanan (rukshah) pada telaga di padang pasir yang terkena tahi unta.
6. Air yang Tidak Diketahui Kedudukannya
Air dapat dicontohkan seperti air yang berada di jalanan, selama tidak mengetahui kedudukannya. Apabila menemukan air disuatu tempat, dan apabila tidak mengetahui kesuciannya, maka air itu termasuk air suci, karena Allah tidak membebani untuk mencari hakikat air itu.
Wallahu a'lam Bishhowab
Sekian artikel yang singkat ini, kurang lebihnya mohon maaf
Kami tunggu kritik dan saran Anda yang membangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar